Kapal Berpayung
Matahari masih menyinari dunia hari itu. Cahayanya menembus
awan hingga turun ke bumi. “Ma, aku mau jenguk pakde hari ini.” Kata-kata itu
muncul saja dibenakku. “Kamu kan sekolah. Nanti sore aja ya, pulang sekolah.”
Aku hanya mengangguk. Sebenarnya, aku ingin menolak karena sudah 4 hari tidak
menjenguk pakdeku seperti ada yang hilang.
Segera ku kenakan sepatuku. Mengecup punggung tangan mamaku.
Tak lupa kuucapkan salam sebelum berangkat sekolah. Tak sabar menunggu sore
tiba.
___________
Ku regangkan tubuhku yang sejak tadi hanya tiduran di kasur
sambil menonton TV. Suara teriakan itu semakin terdengar . “Tataaa… dicariin
Rafly nih!” Ohh, pakdeku ternyata.
Kepalaku segera bertengger di jendela. Meenggintip ke pintu rumah
pakdeku. “Iyaa, pakde.”
Ini bencana, pikirku waktu itu. Kami belum mengenal apa itu gadget. Rafly segera menarik tanganku
menuju kamarnya. “Tunggu, fly. Baru juga napak nih kaki.” Hampir saja aku
tersandung pintu.
Umurku masih 7 tahun dan Rafly 5 tahun. Dia suka kapal.
Imajinasinya selalu berkembang ketika berfikir tetntang kapal. Apalah ini! Bantal dan guling. Aku naik
ke atas kasurnya. Ia segera menyusun formasi yang membentuk sebuah kapal.
Menyurhku memesan minuman, makanan, beberapa bom dan pistol di toko dekat
dermaga alias sebuah cermin yang dianggapnya seperti toko. Ya sudahlah. Aku menurut saja.
Aku belum paham betul apa itu layar sentuh. “Tata, arahin
tembakannya ke sana!” Perintah sang kapten. “Ayayay, kapten.” Aku mengarahkan
salah satu meriam ke arah yang ia tunjukkan. Jika kalian mengerti itu bukanlah
sebuah meriam tapi guling. “Lempar bomnya ke laut!” Aku melempar bom-bom itu ke
laut. Menakjubkan sekali. “Bajak lautnya udah pergi.” Katanya. Aku memungut
kembali bola-bola kertas yang tadi kulemparkan ke lantai.
“Rafly, makan dulu ya!” Bukdeku membuka pintu kamar. “Awass
mbah kena bom!! Duarrr!!” Bom itu
dilemparkan kepada mbah-nya. Tepat mengenai perutnya. “Aaaa..” Bukdeku
pura-pura kalah. Aku tertawa setipis mungkin. “Ta, ntar suapin Rafly ya.” Aku
mengangguk pelan.
“Ta, bikinin kapal-kapalan donk!” Rafly menyerahkan beberapa
kertas HVS tak terpakai. “Iya. Nih, aaa.. dulu ya!” Ia mengangguk sambil
membuka mulutnya. Aku mengambil beberapa
lembar kertas. Melipat-lipat kertas itu. Membuat sebuah benda yang sungguh
berkenang. “Nihh, kapalnya!”
Pintu kamar berderit pelan. “Wihh, pinter ya! Makannya udah
mau abis.” Aku tersenyum kecil atas perkataan pakdeku. Siapa dulu yang nyuapin. Aku masih melipat-lipat beberapa kertas.
Ada 10 kapal kertas yang ku buat.
Pakdeku menyambar selembar kertas. Melipat-lipatnya menjadi
kecil. Menarik ujung-ujung kertas di atasnya. Menyelipkannya ke bagain bawah
kapal. Aku berdecak kagum. “Kok bisa, pakde?” Pakdeku menyambar beerapa kertas
di depannya. Mengajariku perlahan. Rafly yang dari tadi belum selesai mengunyah
makanan di mulutnya melihat cengok . Lipatannya tertinggal jauh.
“Jadi.. Kapal berpayung..” Sahutku mengangkat kapal berpayung
buatanku ke atas kepalaku. Begitu juga, Rafly.
----------------------------------
“Jen, ditunggu orang tua kamu di bawah.” Sana menepuk
pundakku yang sedang makan siang. “Ada apaan , San?” Sana hanya mengangkat
bahu. Aku beranjak pergi turun ke koridor bawah. Tepat, ada bapakku yang
menunggu.
“Kenapa, bap?” Ada apa
sih? Aku hanya berfikir mungkin bapku mau menjenguk nenekku yang sakit di
kampung.
“Pakde udah ga ada.”
Mulutku menganga. Belum bisa mencerna perkataan itu. “HAHH??
YANG BENER? Jangan bercanda!”
Bapakku mengangguk. Aku langsung jatuh dalam pelukannya.
Menangis tersedu-sedu.
“Dee, ambil tas dulu ya!”
Aku membereskan makan siangku. Menyambar tasku. Salah satu
guru melihatku yang bersikap gelagapan ke kelas. “Ada apa, jen?”
“Ustadzah saya minta izin. Pakde saya meninggal. Tolong
sampaikan izin saya ke ustadzah Riska.”
“Ohh iya nanti ustadzah sampaikan. Sekarang ada dimana?”
“Di rumah sakit mitra timur. Saya pamit, ustadzah. “
Mengecup punggung tangannya dan mengucapkan salam.
------------------------------------
“Bu, mohon keluarga berkumpul semua di ruang depan.” Salah
satu tokoh agama itu memanggil kami semua yang sedari tadi menahan isakan.
Sudah tak ku bisa ku bending lagi. Pertahananku jebol saat
tubuhnya mengampar dibalut pakaian terakhirnya. Aku melihat Raffly tepat di
depan pakdeku. Menatapnya.
Ia tidak menangis. Bukan. Ia hanya belum menangis.
Pertahanannya juga jebol. Hatiku kalut dibalut sekian kain
kesedihan.
Cucu yang paling disayangnya hanya bisa menangis. Kakakku
segera memeluknya. Ia juga menangis. Aku bisa melihat dindingnya juga runtuh.
Maaf, pakde. Jika
selama ini tidak menjadi teman yang baik
untuk Rafly.
Ku hapus air mata yang menimpa wajah Rafly. “Doakan, mbah
ya!” Ia menghambur dalam pelukanku sejenak. Anak
nakal ini bisa jatuh juga!
Kapal itu telah siap
membawa tubuhnya berlayar di lautan samudera menuju surga-Nya.
Comments